Terbentuk dari keinginan mendalam untuk menerjemahkan emosi mereka ke dalam dimensi suara yang melankolis, Postumpartum muncul sebagai gelombang post-rock yang mengalir dalam puspawarna musik di Yogyakarta. Mereka lebih dari sekedar musisi. Mereka adalah arsitek dari atmosfer post-rock di mana kata-kata larut menjadi gelombang suara terdistorsi dan bisikan, membangkitkan rasa kerinduan, introspeksi, dan refleksi yang pahit. Musik mereka memiliki kemampuan luar biasa untuk membuat pendengar merenung. Tak hanya gagasan tentang “rumah”, tetapi juga bagaimana hidup bisa berjalan berbeda jika mereka menjadi “orang lain”.
Meskipun band ini menolak dikategorikan dalam satu genre, suara mereka berada di antara lintasan post-rock dan shoegaze. Namun, yang benar-benar mendefinisikan musik Postumpartum adalah esensinya yang melankolis, dan benang merah dari kedalaman emosional yang terus mengalir melalui karya mereka. Melalui crescendos gitar yang membuncah dengan penyampaian vokal yang lembut, fokus band ini tetap pada menciptakan pengalaman emosional yang murni.

Nama “Postumpartum” diterjemahkan dari bahasa latin sebagai “setelah lahir”. Sebuah pilihan menarik yang mencerminkan sifat kontemplatif band ini. Nama ini juga secara halus mengacu pada kompleksitas emosional yang terkait dengan depresi pasca-persalinan, yang juga dikenal sebagai “baby blues”. Suatu periode fluktuasi emosional mendalam yang dialami oleh ibu setelah melahirkan. Seperti kondisi ini, musik mereka menyentuh tema kerentanan, gejolak batin, dan kapasitas manusia untuk bertahan. Melalui lagu-lagu mereka, Postumpartum mengeksplorasi lanskap emosionalnya, menawarkan refleksi mendalam kepada pendengar tentang ketidakpastian hidup, perjuangan, dan keindahan yang rapuh.
Band ini terbentuk pada Januari 2024, dengan Hugo sebagai vokalis utama, Ino dan Adam memainkan gitar, Ael sebagai basis, dan Gangga menyatukan semuanya pada drum. Berlalu satu bulan setelahnya, ide-ide mulai bermunculan di kepala mereka saat mereka membayangkan seperti apa hasil akhirnya.

Terinspirasi oleh band seperti Envy, Asunojokei, dan LKTDOV (LASTKISSTODIEOFVISCEROTH), mereka berusaha menciptakan sesuatu yang benar-benar milik mereka. Tanpa bantuan eksternal, Postumpartum memikul sepenuhnya proses produksi mereka. Setiap suara, setiap lapisan berasal langsung dari mereka. Mulai dari recording, mixing, hingga mastering, semuanya ditangani dengan terampil oleh sang vokalis, Ino. Mereka bangga dengan pendekatan DIY (Do It Yourself) yang mentah, yang memungkinkan mereka sepenuhnya membentuk musik mereka tanpa filter dan autentik.
Dalam mendistribusikan karya mereka, mereka dibantu oleh Sayboome Records, label dan penyelenggara acara yang berbasis di Yogyakarta. Setelah berbulan-bulan trial and error menyempurnakan suara mereka, Postumpartum akhirnya merilis debut single mereka, “What’s Left to Live” pada 26 April 2024. Momen penanda awal perjalanan melankolis mereka.
Lagu tersebut dengan sempurna mencerminkan esensi identitas musik Postumpartum yang menggabungkan emosi mentah dan introspektif ke dalam lanskap suara yang melankolis. Seperti pengaruh post-rock mereka, lagu ini bukan sekedar narasi tetapi perjalanan emosional, di mana setiap kata dan frasa bertindak sebagai riak dalam lautan perasaan yang tidak terselesaikan. Liriknya mencerminkan rasa kehilangan dan kekecewaan yang mendalam. Dimulai dengan kenangan nostalgia, menghabiskan waktu bersama seseorang di pantai, hingga berakhir pada kesadaran tajam akan isolasi dan kegagalan pribadi.
Progresi emosional ini mencerminkan pendekatan musik band ini, di mana bisikan introspeksi berubah menjadi gelombang suara melankolis, mendorong pendengar untuk merenungkan penyesalan mereka sendiri dan perjalanan waktu. Lagu ini mengungkapkan rasa kehilangan, penyesalan, dan kebas emosional, saat sang pembicara merenungkan kenangan masa lalu dan keadaan mereka saat ini yang penuh keputusasaan. Pesannya berputar di sekitar bagaimana hidup dapat berubah dengan cepat, yang menyebabkan perasaan isolasi dan keputusasaan.

Melalui wawancara, Postumpartum berharap musik mereka dapat didengar oleh khalayak luas, baik melalui layanan streaming, salinan fisik, maupun secara langsung. Bagaimanapun, Postumpartum adalah contoh luar biasa dalam mengubah kata-kata menjadi gelombang suara, kata-kata yang menyentuh hati dan membuatnya hancur berkeping-keping.
Ditulis oleh Achmad Bintang Sulaiman
Disunting oleh The Agvs