Peluru dan Suara Pinggiran di Debut Album Megatruh Soundsystem, ‘State & Violence’

 

Negara dan kekerasan adalah dua topik yang sangat dekat, bahkan melekat. Sudah banyak sejarah yang telah mencatatnya, dengan ragam latar peristiwa, gejolak, hingga dampak di masa setelahnya. Bak dongeng masa lampau, segala peristiwa yang tercatat dalam sejarah dan ingatan, sudah sepatutnya terus diabadikan untuk menjadi pengingat dan pembelajaran. Mediumnya juga beragam, mulai dari film, buku, visual art, musik, dan lain sebagainya. Hal ini juga sedang dilakukan oleh Megatruh Soundsystem dengan debut albumnya yang dirilis pada Jum’at, (13/12)

Official Artwork ‘State & Violence’ by Hamzah Saptoadjie

 

Secara garis besar, album bertajuk ‘State & Violence’ ini menyuguhkan beragam narasi kekerasan dalam masyarakat, yang seringkali melibatkan negara. Mulai dari konflik yang bersifat horizontal, hingga genosida. Tak hanya lewat lirik, secara musikal album ini juga berhasil menggambarkan dinamika nuansa tiap peristiwa yang diangkat. Mulai dari amarah, horor, mencekam, hingga terang.

 

Trio dub reggae asal Yogyakarta ini mengadopsi elemen musik Jamaika, terutama Ska & Dub Reggae, lalu menabrakkannya dengan warna lain; macam punk rock, hardcore, hip hop, darkwave, psychedelic, hingga ritmik tradisional Nusantara. Tak hanya itu, Megatruh Soundsystem yang terdiri dari Ari Hamzah (drum), Arumtaka (Sequencer), dan Kiki Pea (Vocal) juga melibatkan kolaborator di hampir setiap lagu mereka, sebut saja; Serigala Malam, Lips!, Presiden Tidore, GNTZ,  hingga sederet nama popular di kancah dub reggae; Baxlaxboy, Radit Echoman, dan Asetnegara Sistemsuara.

Kiki Pea, Ari Hamzah, dan Arumtaka

Sampai di sini, mari menyelami 12 lagu di album ‘State & Violence’!

 

Dibuka dengan “Nuh Bread Sound” yang  dinyanyikan dengan gaya ‘Patwa Jamaika’, sebuah bahasa kreol yang diucapkan oleh mayoritas warga Jamaika. Di lagu ini, Megatruh Soundsystem berkolaborasi dengan Aset Negara Sistem Suara yang berisikan Jenggo (Sing Jay, Toasting) dan Boriez Got Soul (Riddim), yang berasal dari Jakarta. Di sini mereka hendak memberikan music statement, tentang gelombang dub reggae yang akan menghantarkan pendengarnya tuk berselancar di lagu-lagu selanjutnya.

Lagu kedua, ada “Roots Reggae & Revolusi’, hasil kolabornya dengan BAXLAXBOY yang berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Secara lantang, di lagu ini mereka langsung mengumandangkan tentang revolusi dan mempertebal identitas pondasi yang dibawa, yakni reggae.

 

Dari reggae, dipercepat ke ranah ska punk di lagu ketiga berjudul “Petrus”. Berkolaborasi dengan Skinheadbop, mereka menyajikan nuansa horor tentang tragedi berdarah yang terjadi di era order baru. Petrus (Penembakan Misterius) menjadi salah satu tragedi yang memprihatinkan. Atas dalih pembersihan premanisme, setiap orang yang berpenampilan di luar pakem mayoritas sosial kala itu, langsung menjadi target operasi tanpa divalidasi terlebih dahulu. Ngeriiiii.

 

Setelah ngilu dengan tragedi berdarah, mari sedikit cooling down di lagu ke empat “Let’s Join Let’s Sing and Dance”, milik Erwe band ska rock asal Yogyakarta. Sebuah lagu wahana dansa bagi orang kalah dan terpinggirkan. Di lagu ini, Megatruh Soundsytem merombak ulang dengan sentuhan dub reggae, namun tetap menjadikan Dabwok (vokalis Erwe), sebagai pengisi vokal utama di lagu ini. Mungkin, Kiki Pea sang vokalis, masih shock menyanyikan lagu “Petrus” yang penuh akan tragedi berdarah. Hehehe.

Setelah cooling down, mari naikan sedikit temponya di lagu kelima “Tanpa Tendensi”, hasil kolaborasi lintas genre dengan Tendangan Badut, band punkrock asal Solo. Di lagu ini, mereka mengawinkan 2tone Ska dengan darkwave, dengan isian lirik yang terinspirasi dari kenangan masa lalu dengan kerabat dekat yang telah “berpulang”. Alhasil nuansa temaram, sangat kental sekali terasa di lagu ini.

 

Lanjut ke lagu ke-6, Megatruh Soundsystem berkolaborasi dengan band 70’s punk asal Jakarta, LIPS! Lagu berjudul “Pertahanan Sisilia” ini lebih menggambarkan bagaimana intrik kaum bawah dalam rencana mendobrak sistem si penguasa. Lagu yang penuh nafas api pemantik motivasi.

 

Lagu ke-7 ada “Sammaratanna Hellallah”, hasil kolaborasi dengan rapper cum, budayawan kontemporer asal Indonesia Timur bernama Presiden Tidore, dan Judith Chung yang dikenal sebagai penulis lagu dan  penulis buku berdarah Tionghoa. Di lagu ini mereka mengajak pendengarnya untuk melirik salah satu budaya Nusantara, yakni gotong royong. Ya, Sammaratanna Hellallah ialah sebuah mantra dari Indonesia Timur mengenai semangat masyarakat dalam bergotong royong menarik perahu dari darat ke laut, dan dirapalkan untuk beberapa hal; tujuan ekonomi, syiar agama, dan lainnya. 

 

Dalam rilis pers, Presiden Tidore juga mengungkapkan tentang posisi mantra tersebut. Menurutnya, mantra adalah bagian dari kosmologi tubuh, dan menjaga mantra adalah menjaga tubuh, menjaga alam, dan ilmu pengetahuan. Mantra tersebut oleh Judith Chung direspon dengan bagaimana manusia hidup di bumi, tidak bisa memilih untuk terluka atau tidak. Baginya, luka itu harus ada agar kita benar-benar menjadi manusia.

 

Lanjut ke lagu ke-8, Megatruh Soundsystem berkolaborasi dengan Radit Echoman, di lagu berjudul “Balada Jelata” yang berisi tentang suara pinggiran dari rakyat jelata akan realitas komedi yang dipertontonkan dan diperankan oleh sang penguasa. Hal tersebut terdengar jelas di potongan lirik, “Negeri ini bukan milik segelintir keluarga, lewat balada ini kita lawan bersama!”.

 

Lagu ke-9, hadir dengan tema yang dekat  dengan mereka, yaitu klitih. Berkolaborasi dengan living legend hip hop Yogyakarta, GNTZ, mereka lagu berjudul “Bandit Kota” menceritakan fenomena kriminalitas di Yogyakarta, yang banyak dari pelakunya di usia belum akil baligh atau di bawah umur. Demi eksistensinya, bocah-bocah ingusan ini tak segan menyerang korbannya secara random dengan senjata tajam, bak koboi jalanan. Tak jarang, kegaduhan ini telah menyebabkan korbannya tewas. 

 

Memasuki lagu ke-10, hadir anthem kemerdekaan berjudul “Viva La Palestina, Merdeka!”. Lagu ini adalah satu-satunya lagu Megatruh Soundsystem, yang tak melibatkan kolaborator sama sekali. Melalui lagu ini, mereka menyatakan sikapnya untuk mendukung kemerdekaan Palestina. “Menyuarakan genosida dan kekerasan terstruktur di Palestina adalah sebuah kewajiban. Bersama banyak warga dunia yang mengecam aksi yang dilakukan oleh Zionis Israel, diharapkan lewat musik, peperangan akan berhenti, dan warga Palestina berhak untuk memperoleh kemerdekaannya”, ujar Megatruh Soundsystem.

 

Di album ini, mereka menghadirkan satu lagu yang belum pernah dirilis. Lagu ini berjudul “Sikut” milik ROKET, band rock asal Jogja, yang sebelumnya Kiki Pea juga berada di dalamnya. Di lagu ini mereka juga melibatkan Dracul, rapper asal Purwokerto. Kiki Pea sebagai penulis lirik di lagu “Sikut” ini, merangkum fenomena persaingan antar kepentingan, yang kerap terjadi di tengah kehidupan sosial.

 

Tiba di penghujung album, lagu ke-12 berjudul “Mundur Bukan Pilihan”, yang merupakan sebuah anthem dari skena hardcore Yogyakarta, milik Serigala Malam. Sebuah pesan optimisme di penutup album, untuk segala refleksi narasi-narasi yang dihadirkan pada album ‘State & Violence’ ini.

Libatkan Wok The Rock, sebagai peramu audio.

Wok The Rock – Source: Instagram/western_front

Tak main-main, di debut albumnya ini Megatruh Soundsystem juga berkolaborasi dengan Wok The Rock, seniman kontemporer, kurator, dan produser asal Yogyakarta. Jika kamu mendengarkan single demi single yang telah dirilis sebelumnya, pasti merasakan perbedaan audio yang cukup signifikan, dengan materi keseluruhan di album ‘State & Violence’.

 

Ya, perbedaan tersebut adalah ulah Wok The Rock yang merombak sound lagu-lagu yang masuk album perdana dari Megatruh Soundsystem. Yang paling mencolok adalah perubahan sound yang lebih raw, namun hal itu malah membuat roots dub reggae-nya semakin terasa.  Belum lagi penebalan nuansa temaram dan horor makin membuat benang merah antara musik dan liriknya semakin “kawin”. “Nantinya anak punk, hardcore, hip hop, reggae, bahkan gothic bisa menikmati keseluruhan album ini,” ujar Wok The Rock.

Lewat album ‘State & Violence’, kita seperti diajak tuk wisata masa lalu, membongkar kembali ingatan tentang bagaimana berbagai peristiwa masa lampau, melihat lagi suara-suara pinggiran, hingga menumbuhkan api-api optimisme lagi untuk tetap melawan tirani, dengan cara yang lebih santai dan tenang.

 

“Jika negara punya senjata berupa kekuasaan dan intrik, Megatruh Soundsystem punya senjata berupa suara pinggiran dalam wujud musik dan lirik”.

Dengarkan album ‘State & Violence’ di bawah ini!

 

Ditulis oleh The Agvs