Di hari ketiga Synchronize Fest, meski masih terbawa suasana meriah sejak hari pertama, saya mulai merindukan sesuatu yang lebih serius seperti musik yang tidak hanya keras dan berirama catchy, tetapi juga megah. Festival musik multi-genre ini memang luar biasa, selain sebagai festival untuk bergembira dan melepaskan penat, juga menyatukan berbagai lapisan penonton dari segala usia, latar belakang, dan selera musik. Namun, di tengah euforia itu, saya ingin sesuatu yang bisa mengembalikan semangat hitam pelepas segala amarah: Musik yang gahar namun dipenuhi dengan alunan-alunan mewah.
Mendekat ke Panggung Burgerkill
Pukul 18:15, saya berlari menuju District Stage, panggung terbesar kedua yang terletak di tengah venue Gambir Expo Kemayoran, yang sudah dipadati penonton. Meski penuh sesak, saya berhasil mencapai barikade paling depan setelah sedikit beradu posisi. Ada seorang pria yang memilih bergeser dan berdiri di belakang seorang wanita, siap melindunginya dari dorongan crowd, memberi ruang bagi saya untuk berdiri di barisan paling depan bersebelahan dengan wanita itu. Mungkin dia kasihan melihat tubuh saya yang kecil dan pendek, takut saya terjepit dan hilang di tengah moshpit. Dan benar saja, dengan atmosfer Burgerkill, moshpit dan crowd surfing sudah pasti terjadi di area penonton.
Dimulai dengan Orkestra
Tepat pukul 18:30, satu per satu musisi orkestra mulai memasuki panggung. Riuh tepuk tangan penonton menyambut, diikuti oleh Puput (drummer), Ramdan Agustiana (bassist), dan Agung Hellfrog (gitaris pengganti almarhum Eben). Suasana semakin memanas ketika Ronald, sang vokalis, naik ke panggung dan menyapa para begundal—sebutan untuk para penggemar Burgerkill. “Anjing Tanah!!!” teriak seseorang tepat di belakang saya, sepertinya dia adalah seorang begundal yang penuh semangat dan tidak sabar menunggu lagu ikonis tersebut dimainkan untuk melepaskan segala amarah yang dia bawa.
Saya berdiri di depan panggung, tepat di depan Puput sang drummer, menyaksikan pembukaan yang epik dari alunan orkestra dramatis nan harmonis, kemudian disusul pukulan drum gahar yang mengguncang panggung District. Seolah seketika terlempar ke dalam dimensi lain, saat lagu “Roar of Chaos” dilantunkan menjadi pembuka show tersebut.
Perpaduan antara musik metal yang cadas dari Burgerkill dan orkestra megah dari ALchestra benar-benar membawa penonton ke suasana yang luar biasa. Hentakan gahar drum oleh Puput, petikan bass Ramdan yang menggeram, genjrengan gitar cadas Agung, dan vokal yang menggelegar dari Ronald bersatu dengan alunan orkestra bak simfoni metal kelas dunia, mengingatkan pada band-band seperti Dimmu Borgir dan Nightwish. saya terpesona, menikmati setiap detiknya, hingga akhirnya lagu berganti ke “Penjara Batin” dan “Anjing Tanah.”
Moshpit yang Liar dan Crowd Control yang Sigap
Sementara di sekitar saya, moshpit mulai terbentuk semakin liar. Orang yang tadinya berdiri di belakang saya dan seharusnya melindungi saya itu menghilang, mungkin terbawa dalam pusaran moshpit. Tiba-tiba, kaki seseorang yang melakukan crowd surfing mendarat tepat di atas kepala saya. Meski cukup keras, saya merasa aman karena petugas crowd control sudah siap di depan, menjaga agar penonton tetap aman. Atau mungkin saya terlalu fokus menikmati dan terkesima dengan aksi panggung Burgerkill yang luar biasa itu, hingga tidak peduli dengan segala kerusuhan yang terjadi. Riuh penonton dan dorongan dari area moshpit beradu menjadikan suasana semakin kacau namun seru.
Saya yang sibuk mempertahankan diri dengan memegang erat pagar barikade demi bisa bertahan di posisi semula tanpa tergeser, mendengar seseorang yang yang terlihat membawa kamera profesional dan sepertinya dia adalah salah satu anggota tim media liputan, mengeluarkan kata-kata makian yang cukup mengganggu konsentrasi saya. Dan ternyata orang itu terkena tendangan cukup keras oleh seseorang yang baru saja melakukan crowd surfing dengan brutal. Darah segar mengucur dari pelipis mata kiri membasahi seluruh mukanya, seperti Rama setelah kena jotos The Assassin di adegan pertarungan berdarah film The Raid. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi saat itu, namun dengan segala kegaduhan yang ada saya masih tetap kembali fokus ke atas panggung sambil memegang lebih erat pagar barikade yang terlihat hampir rubuh itu.
Dedikasi untuk Almarhum Eben: “Hollow”
Para penonton diajak untuk sedikit meredam api semangat dan memulihkan energi dengan mendengarkan lantunan lagu keempat yang bejudul “Hollow.” Dibawakan dengan penuh penghayatan, lagu ini didedikasikan sebagai penghormatan untuk almarhum Eben, gitaris Burgerkill, yang meninggal pada 3 September 2021 silam. Suasana pun berubah khidmat, diiringi rasa hormat dan penghayatan mendalam ditunjukkan sebagai penghormatan kepada “truemegabenz”. Che, vokalis band grunge asal Bandung, Cupumanik—atau lebih dikenal sebagai Che Cupumanik tampil membawakan dua lagu, “Tiga Titik Hitam” dan “Angkuh”, dengan vokal yang kuat. Kolaborasinya bersama Ronald terasa hampir sempurna, tak kalah harmoninya dengan Fadli Padi, pengisi vokal asli di lagu “Tiga Titik Hitam”.
Lagu “Only the Strong” menjadi penutup
Tiba di lagu terakhir sebagai penutup, “Only The Strong,” membuat penonton semakin liar. Moshpit semakin meluas, dan beberapa orang jatuh ke depan panggung, namun segera diamankan oleh petugas crowd control yang sigap. Suasana pestanya para begundal ini benar-benar gila! Penampilan ditutup dengan meriah, membuat para penonton puas namun tetap ingin lebih. Sorak “One more time!” terdengar bersahut-sahutan, khas penonton festival yang belum rela penampilan band favoritnya berakhir. Show malam itu ditutup dengan cara paling epik. Burgerkill membuktikan bahwa metal cadas dan orkestra megah bisa menyatu dengan sempurna di atas panggung besar.
Penulis: Nining HD